Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 10: Architectonic Mathematics (2)
Dari artikel yang berjudul “Elegi Pemberontakan Pendidikan
Matematika 10: Architectonic Mathematics (2)” saya dapat
mengambil kesimpulan bahwa dalam mempelajari matematika, siswa diumpamakan
sebagai seorang arsitek yang akan membangun gedung. Dari pernyataan diatas,
banyak terdapat makna tersirat. Seperti halnya siswa siswa yang akan menggali,
mengeksplor, dan mengembangkan kemampuan pola berpikirnya, kecerdasannya
ataupun intelektual layaknya sebuah bangunan matematika di dalam pikirannya,
sehingga terbentuklah suatu pengetahuan matematika oleh dirinya sendiri. Implementasi
dari asumsi tersebut, tentunya ada harus dipegang dalam membangun bangunan
matematika, yaitu matematika berasal dari pikiran siswa itu sendiri. Terkait dalam
konteks itu, matematika itu adalah diri individu sendiri, rasa senang itu tidak
boleh dipaksakan, kecuali dengan keikhlasan dirinya sendiri. Jadi biarlah siswa
senang dengan matematika karena dirinya sendiri, bukan karena dipaksa untuk
menyukai matematika.
Seorang arsitek
mempunyai rancangan berpikir untuk podasinya dalam membangun bangunan. Begitu juga
dengan architectonic Mathematics, mempunyai pondamen dalam membentuk bangunan
matematika. Namun dalam membangun bangunan matematika, architectonic
Mathematics memiliki rancangan berpikir tentang bagaimana siswa dapat
memperoleh pemahaman dan mampu membangun konsep matematika sendiri sesuai
dengan tingkat kemampuan dasar dan keunikannya. Untuk mencapai bangunan
matematika tersebut, tentunya melalui asumsi dasar terlebih dahulu. Pondamen architectonic
mathematics mempunyai 2 asumsi dasar yang utama, yaitu siswa mampu membangun dan
memahami konsep matematika melalui logika atau penalarannya dan melalui
pengamatannya terhadap fenomena matematika.
Menurut Immanuel Kant, matematika
akan menjadi ilmu, maka dia harus bersifat sintetik apriori. Ilmu itu terdiri
dari dua unsure, yaitu pikiran dan pengalaman. Apabila yang ada hanya logika
saja maka disebut apriori, logika merupakan suatu pikiran yang belum terjadi.
Sedangkan pengalaman saja disebut aposteriori/ sintetik. Sintetik adalah
pengalaman-pengalaman. Supaya ilmu atau pengetahuan yang kita miliki kokoh,
maka pengalaman dan logika harus dikombinasikan, yang sering disebut dengan
sintetik apriori. Hal itu sesuai dengan pondamen architectonic mathematics
yang mempunyai 2 asumsi dasar yang sudah mencakup dalam sifat sintetik apriori.
No comments:
Post a Comment