Wednesday 20 March 2013

Refleksi Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 10: Architectonic Mathematics (2)

http://powermathematics.blogspot.com/2010/09/elegi-pemberontakan-pendidikan_8043.html?showComment=1363841957603#c3971042948322934760

Dari artikel yang berjudul “Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 10: Architectonic Mathematics (2)” saya dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam mempelajari matematika, siswa diumpamakan sebagai seorang arsitek yang akan membangun gedung. Dari pernyataan diatas, banyak terdapat makna tersirat. Seperti halnya siswa siswa yang akan menggali, mengeksplor, dan mengembangkan kemampuan pola berpikirnya, kecerdasannya ataupun intelektual layaknya sebuah bangunan matematika di dalam pikirannya, sehingga terbentuklah suatu pengetahuan matematika oleh dirinya sendiri. Implementasi dari asumsi tersebut, tentunya ada harus dipegang dalam membangun bangunan matematika, yaitu matematika berasal dari pikiran siswa itu sendiri. Terkait dalam konteks itu, matematika itu adalah diri individu sendiri, rasa senang itu tidak boleh dipaksakan, kecuali dengan keikhlasan dirinya sendiri. Jadi biarlah siswa senang dengan matematika karena dirinya sendiri, bukan karena dipaksa untuk menyukai matematika.

            Seorang arsitek mempunyai rancangan berpikir untuk podasinya dalam membangun bangunan. Begitu juga dengan architectonic Mathematics, mempunyai pondamen dalam membentuk bangunan matematika. Namun dalam membangun bangunan matematika, architectonic Mathematics memiliki rancangan berpikir tentang bagaimana siswa dapat memperoleh pemahaman dan mampu membangun konsep matematika sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan dasar dan keunikannya. Untuk mencapai bangunan matematika tersebut, tentunya melalui asumsi dasar terlebih dahulu. Pondamen architectonic mathematics mempunyai 2 asumsi dasar yang utama, yaitu siswa mampu membangun dan memahami konsep matematika melalui logika atau penalarannya dan melalui pengamatannya terhadap fenomena matematika.

            Menurut Immanuel Kant, matematika akan menjadi ilmu, maka dia harus bersifat sintetik apriori. Ilmu itu terdiri dari dua unsure, yaitu pikiran dan pengalaman. Apabila yang ada hanya logika saja maka disebut apriori, logika merupakan suatu pikiran yang belum terjadi. Sedangkan pengalaman saja disebut aposteriori/ sintetik. Sintetik adalah pengalaman-pengalaman. Supaya ilmu atau pengetahuan yang kita miliki kokoh, maka pengalaman dan logika harus dikombinasikan, yang sering disebut dengan sintetik apriori.   Hal itu sesuai dengan pondamen architectonic mathematics yang  mempunyai 2 asumsi dasar yang sudah mencakup dalam sifat sintetik apriori.


No comments:

Post a Comment